Banjarmasin Kabar Borneo raya.com
Saat Forum Ambin Demokrasi digelar, terungkap satu hal yang sangat tragis dalam Pemilu, yaitu ketika seorang caleg yang tidak ingin money politik menemui pemilihnya, disampaikan “datang liur bulik liur”, datang hanya omong saja, maka pulangnya pun cuma beroleh omongan, bukan dukungan suara.
Karena ungkapan tersebut lazim terdengar, banyak caleg yang minim amunisi logistik, takut menemui kelompok pemilih. Takut tidak diterima, takut tidak didengarkan. Akhirnya tidak ada pengenalan diri sang caleg.
Sebegitu parahkah money politik, sehingga ungkapan seperti itu muncul mematahkan semangat memperbaiki Pemilu?
Atau, tidak ada yang menarik selain “uang”, sebab yang datang juga tanpa gagasan, tanpa narasi yang dapat menumbuhkan optimisme bahwa pilihan politik menentukan masa depan.
Biasanya, bila tidak ada narasi, maka simbol SARA akan digunakan merebut suara pemilih. Suku, agama, ras dan antar golongan, dipolitisir sedemikian rupa, sebagai satu identitas yang dapat mengambil hati serta simpatik pemilih.
Di atas indentitas SARA, terbuka peluang money politik untuk mengalahkannya. Bila “uang” digunakan, identitas SARA pun tersingkir. Lebih parah lagi, identitas SARA dan uang dipakai keduanya, dan melumpuhkan narasi, membuatnya semakin tidak berdaya.
Mudah-mudahan belum terlambat memulihkannya. Bila semua caleg berkomitmen tidak melakukan money politik, bila pemilih tumbuh kesadaran bahwa money politik memperburuk demokrasi, dan bila penyelenggara terutama pengawas tidak mentolerir praktik money politik, pastilah kondisi ini dapat dipulihkan, minimal tidak menguat semakin massif dan menakutkan, “datang liur bulik liur”. (nm)
0 Komentar