Tentang Perbuatan Pidana dan Unsur Kesalahan dalam Tindak Pidana Terhadap Kehormatan (Fitnah, Pencemaran Nama Baik, Penistaan


Oleh : Muhammad Yusman, SH. MH 

Pembina LBH Patriot Muda Borneo 

Kal-Sel 

Banjarmasin : Kabar Borneo raya.com

Penegakkan Hukum pidana itu dapat dilakukan ketika ada suatu perbuatan yang melawan Hukum dan adanya "kesalahan". Menurut ahli Hukum pidana (D.Simons) kesalahan adalah "keadaan psikis pelaku dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, sehingga berdasarkan keadaan psikis tersebut pelaku dapat dicela atas perbuatannya."

dari pengertian tersebut kesalahan berarti :

1. keadaan psikis/batin

2. terhadap perbuatan yang dilakukan

3. dapat dicela atas perbuatan.

Sedangkan unsur kesalahan adalah dilihat dari :

1. melakukan tindak pidana.

2. kemampuan untuk bertanggung jawab

 3. tidak adanya alasan pemaaf

Unsur "kesalahan" sangat penting sekali dalam hukum pidana. Hingga Kita kenal asas "Geen Straf Zonder Schuld" berarti tiada pidana (penghukuman) tanpa kesalahan.

Dari uraian singkat di atas apabila Kita kaitkan dengan Kasus pencemaran nama baik atau fitnah dengan Terdakwa (HM) maka perbuatan disini adalah berupa perkataan atau ucapan Terdakwa yang dianggap menyakiti perasaan si korban dan karenannya korban merasa dirugikan. ketika ucapan tersebut menyakiti perasaan korban maka saat tersebut Hukum pidana hadir dengan melihat akibat yang ditimbulkan. Namun kesalahan karena berupa "ucapan" hanya berdampak bagi orang tertentu saja. Misalnya seseorang mengatakan kepada teman akrabnya "kamu rakus", maka respon atau perasaan dari teman yang menerima perkataan tersebut dapat dipastikan akan biasa saja karena sudah kenal sifat dan perilaku teman yang mengatakan "rakus" tersebut. Akan berbeda respon orang yang tidak begitu akrab yang menerima kata tersebut, yang kemungkinan akan tersinggung bahkan tersakiti perasaannya, maka untuk menentukan unsur kesalahan melalui sikap bathin dilihat tidak hanya terhadap pelaku saja tetapi juga korban, karena makna kata yang terucap harus sama maknanya bagi pelaku dan korban dan selain itu dipengaruhi pula situasi kebathinan saat ucapan tersebut diungkapkan. jelasnya kesalahan yang terbit dari "ucapan" atau perkataan adalah sangat subjektif sehingga Hukum mengkategorikan sebagai delik aduan absolut yang berarti penegakkan pidana dapat dilakukan apabila si korban yang melakukan penuntutan, maka kapasitas Jaksa Penuntut adalah mewakili kepentingan Hukum korban. Sejalan dengan hal tersebut Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan yang dalam hal ini adalah korban. 

Nah, bagaimana ketika si korban memaafkan Terdakwa dan telah terjadi perdamaian antara mereka, maka dalam keadaan demikian dapat diyakini telah pulihnya keadaan korban dan terjadinya keseimbangan maka tidak ada yang harus menanggung pertanggungjawaban. 

Kita tahu bahwa adanya ketentuan pencabutan pegaduan menurut Pasal 75 Kuhp yaitu "korban berhak menarik pengaduan dalam jangka waktu 3 bulan setelah pengaduan disampaikan." namun dari konstruksi Pasal ini bukan dimaknai sebagai batasan pencabutan atau penghentian penuntutan, hanya sebagai "Hak" bagi pengadu untuk menarik pengaduan, maka ketika norma menentukan sebagai "Hak" berarti memberikan kebebasan memilih bagi Pengadu untuk meneruskan atau memilih menarik pengaduannya. Lantas ketika lewat waktu 3 bulan sejak pengaduan maka tetap saja delik tersebut sebagai delik aduan, perbuatan tersebut tetap dipandang sebagai delik aduan, yang berarti Jaksa Penuntut tetap bertindak untuk kepentingan korban. semestinya ketika korban sudah tidak lagi merasa berkeberatan terhadap terdakwa maka Jaksa Penuntut kehilangan legitimasi dan subtansi apabila Jaksa terus melakukan penuntutan. dengan kata lain untuk kepentingan siapakah Jaksa Penuntut bila melakukan penuntutan?

Apalagi perbuatan melawan Hukum pidana yang didakwakan tidak dapat dibuktikan berdasarkan alat bukti yang cukup oleh Jaksa Penuntut, maka dengan tidak terbuktinya perbuatan pidana akan tidak dapat dinilai "kesalahan" si pelaku atau terdakwa karena kesalahan terbit dari rangkaian perbuatan pidana yang terbukti.

Tidak terbukti perbuatan pidana maka tidak ada kesalahan, tiada kesalahan maka tiada pidana 

"Geen Straf Zonder Schuld"

Posting Komentar

0 Komentar