ADVOKAD SENIOR ANGKAT BICARA WARGA DESA MANTAAS HST MAHYUNI DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA

Banjarmasin : Kabar Borneo Raya.com

Menurut pendapat advokat H. Abdullah Sani, SH. M. Ag, lebih akrab dipanggil dengan sebutan H. Dudung bahwa penetapan Mahyuni warga Desa Mantaas RT. 005 RW 002 , Kec. Labuan Emas Utara Kab. HST  sebagai tersangka dengan pasal 2 ayat (1) UU Darurat Tahun 1951 adalah tidak tepat dan sangat perlu digali kembali kesesuaian unsur - unsur perbuatan melawan hukum yang terdapat di dalam pasal dimaksud dan sebab musabab lain yang berhubungan dengan perkara tersebut 

antara lain sebagai berikut : 

a. Muncul emosi Mahyuni kemudian mencabut parang disebabkan oleh perkataan Wahyu dengan sengaja melecehkan pribadi Mahyuni dengan cara memancing amarah (mengajak berkelahi) 

b. Mahyuni sudah melakukan permohonan untuk minta tunda penutupan akses siring sebelum adanya koordinasi dengan Ketua BPD Desa dan Pihak Kontraktor 

c. Ditutupnya akses halaman rumah Mahyuni sehingga mobil dan kendaraan tidak bisa keluar 

d. Parang dicabut sewaktu di dalam dirumah bukan dibawa keluar rumah, sehingga unsur dengan sengaja membawa sajam  menurut pasal 2 ayat (1) UU Darurat tahun 1951 tidak terpenuhi 

e. Muncul nya tindakan emosi dari Mahyuni adalah berhubungan dengan dugaan pelecehan terhadap privasinya dan bertujuan untuk membela atau mempertahankan harga dirinya yang dilecehkan dan diajak berkelahi oleh Wahyu dan rekan  dimuka rumahnya 

Pasal 49 ayat (1) KUHP menyebutkan: “Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”

Sedangkan Pasal 49 ayat (2) KUHP berbunyi:

“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas,yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”

Keduanya berasal dari postulat Necessitas Quod Cogit Defendit, artinya keadaan terpaksa melindungi apa yang harus diperbuat.

Terdapat tiga syarat Pembelaan Terpaksa, antara lain:

Serangan dan ancaman yang melawan hak yang mendadak dan harus bersifat seketika (sedang dan masih berlangsung) yang berarti tidak ada jarak waktu yang lama, begitu orang tersebut mengerti adanya serangan, seketika itu pula dia melakukan pembelaan.

Serangan tersebut bersifat melawan hukum (bersifat wederrechtelijk), dan ditujukan kepada tubuh, kehormatan,dan harta benda baik punya sendiri atau orang lain.

Pembelaan tersebut harus bertujuan untuk menghentikan serangan, yang dianggap perlu dan patut untuk dilakukan berdasarkan asas proporsionalitas dan subsidiaritas. Perbuatan harus seimbang dengan serangan, dan tidak ada cara lain untuk melindungi diri kecuali dengan melakukan pembelaan dimana perbuatan tersebut melawan hukum.

Menurut H. Dudung , peristiwa tersebut tidak memenuhi unsur tindak pidana di dalam pasal 2 ayat (1) UU Nomor 12 tahun 1951 dan juga tidak ada korban dan merugikan pihak lain, dan sudah sepatutnya pihak polres HST di dalam penanganan perkara Mahyuni ini melalui restorative justice (RJ) karena apa yang dialami oleh Mahyuni pada saat di dalam rumah jiwanya tidak stabil dan mendapat tekanan dari orang lain diluar rumah yang melontarkan kalimat yang membuat ia emosi dan merupakan ancaman yang datang kepadanya dan memunculkan daya paksa atau keterpaksaan (overmacht) untuk melakukan pembelaan (noodweer) atas harga dirinya

Kalau peristiwa  keadaan terpaksa tersebut dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dengan tuduhan membawa senjata tajam dan penerapan Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 tahun 1951 tentunya  dianggap arogansi di dalam penegakan hukum dan kepastian hukum dan sungguh tidak adil dan sangat dipaksakan menghukum orang lain tanpa ada kesesuaian dengan maksud pasal tersebut. Dan tindakan penyidik tersebut telah mengabaikan Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, sebagai dasar hukum dan pedoman dalam penyelesaian perkara berdasarkan keadilan restoratif.

 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 08 Tahun 2021 ini mengatur tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif, yang akan digunakan sebagai acuan dasar penyelesaian perkara dalam proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana guna dapat memberikan kepastian hukum, sebagaimana diatur tentang penghentian penyelidikan (SPP-Lidik) dan penhentian penyidikan (SP3) dengan alasan demi hukum berdasarkan keadilan restoratif.

Keadilan Restoratif adalah Penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. (Pasal 1 huruf 3)

Konsep restorative justice merupakan suatu konsep yang mampu berfungsi sebagai akselerator dari Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, sehingga lebih menjamin terpenuhinya kepastian hukum dan keadilan masyarakat. Ketimbang menghukum atau memenjarakan orang  lain dengan pelanggaran

pidana yang tidak berat (ringan) bahkan tidak ada dampak atau kerugian terhadap orang lain 

Restorative Justice (Keadilan Restoratif) adalah suatu pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada kebutuhan korban, pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau semata-mata penjatuhan pidana. Sehingga  pelanggaran pidana yang tidak menimbulkan akibat dan menimbulkan kerugian terhadap orang lain lebih tepat melalui pendekatan restorative justice sehingga biaya pengeluaran negara dapat ditekan dan juga untuk mengurangi over kapasitas rumah tahanan negara atau lembaga Permasyarakatan  Ujar H. Dudung kepada media Sabtu 09 Desember 2023..**(TM)

Posting Komentar

0 Komentar